Tahun 2013 merupakan tahun yang
tidak bersahabat bagi nilai tukar rupiah. Selama periode 2013 ini, rupiah terus
mengalami tren negatif, dimana hal itu merupakan periode terburuk dalam empat
tahun terakhir. Dua tahun lalu, tepatnya pada 24 Maret 2011, tonggak rupiah
pernah mencapai Rp 8.722/US$ yang merupakan nilai terkuat sejak tujuh tahun
periode sebelum tahun 2011. Sangat jauh dibandingkan dengan tonggak rupiah pada
periode 2013 yang bisa dilihat pada nilai tukar rupiah yang ditunjukkan pada 27
September 2013 yang mencapai level Rp 11.590/US$.
Lemahnya mata uang rupiah ini
menimbulkan trauma tersendiri bagi masyarakat Indonesia terhadap memori kelam
krisis moneter pada tahun 1998 lalu. Akan tetapi, kondisinya tentu berbeda
karena penyebab melemahnya rupiah pada tahun 2013 ini disebabkan oleh beberapa
faktor yang kompleks yang karakteristiknya berbeda dengan krisis 1998 lalu.
Melemahnya rupiah pada periode 2013 ini disebabkan oleh faktor eksternal dan
faktor internal. Salah satu faktor eksternal adalah adanya bank sentral AS (The Fed) mengurangi program stimulus
yang menyebabkan menguatnya dolar Amerika Serikat terhadap semua mata uang
dunia. Kebijakan tersebut menyebabkan aliran modal masuk ke Amerika dan stock market di berbagai negara jatuh.
Efek lain yang timbul yaitu menyebabkan lesunya bursa-bursa regional, mata uang
di kawasan regional juga anjlok sama halnya yang dialami Indonesia saat ini.
Faktor eksternal lain yang menyebabkan rupiah melemah adalah krisis Timur
Tengah khususnya di Syria yang menyebabkan adanya respon pasar yang negatif di
kawasan Asia.
Selain faktor eksternal, faktor
internal juga tidak dapat dikesampingkan mempengaruhi melemahnya rupiah itu
sendiri. Pemerintah yang tidak tegas dalam pengambilan-pengambilan keputusan
termasuk salah satunya. Lihatlah ketika penentuan kenaikan harga BBM yang
terlihat adanya keraguan dari pemerintah menyebabkan adanya ketidakpercayaan
pasar terhadap pemerintah. Hal itu diperparah ketika rupiah dalam kenyataannya
sedang terpuruk, namun pemerintah
mengeluarkan statement yang
menyatakan ekonomi makro Indonesia masih dalam tahap aman dan tidak separah
negara lainnya. Sentimen tersebut justru membuat pelaku pasar lebih agresif
dalam melepas mata uang domestik. Pelaku pasar menganggap komentar tersebut
tidak mengindikasikan adanya langkah strategis dalam menahan pelemahan rupiah.
Masyarakat Indonesia tentunya tidak menginginkan
rupiah semakin terpuruk, karena banyak sektor yang sudah terkena imbas baik
langsung maupun tidak langsung akibat krisis mata uang rupiah ini. Pemerintah
diharapkan mampu memberikan keputusan yang dapat memberikan sentimen positif
terhadap nilai mata uang rupiah. Banyak solusi yang harus dihadirkan. Salah
satu langkah jangka pendek untuk mengantisipasi terus melemahnya nilai tukar
rupiah yakni menaikkan suku bunga bank. Dimana baru-baru ini Bank Indonesia
(BI) telah memutuskan menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 50
basis poin dari 6,5 persen menjadi 7 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG).
Namun, kebijakan BI ini juga akan menimbulkan masalah lain . Naiknya BI Rate
diprediksi juga akan mempengaruhi besaran bunga kredit perbankan sehingga akan
berdampak negatif terhadap suku bunga kredit industri perbankan. Sektor lainnya
yang akan terkena dampak kenaikan BI Rate adalah sektor yang mendapatkan
pembiayaan dari perbankan ataupun instrumen investasi lain yang berhubungan
dengan suku bunga, seperti sektor properti. Selain itu sektor riil yang ada di masyarakat
juga harus diperhatikan oleh pemerintah sebagaimana yang ‘katanya’ Indonesia
menganut ekonomi kerakyatan. Solusi tentu bukan hanya dilakukan pemerintah
sendirian. Banyak pihak yang harus mendukung agar rupiah menguat kembali,
masyarakat harus turut serta dalam memberikan konstribusi nyata terhadap
kehidupan ekonomi Indonesia pada hari-hari mendatang.
Tri
‘12