Kebijakan
Konsolidasi Fiskal Merisaukan Masyarakat : Kenaikan PPN Tetap Jalan?
Sejak
ditetapkannya Virus Corona sebagai Global
Pandemic oleh WHO (World Health Organization) pada awal tahun 2020, pemerintah
telah melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan kenaikan angka kasus
penyebaran virus tersebut. Mulai dari pemberlakuan lockdown terhadap daerah
yang terjangkit, pembagian masker gratis kepada masyarakat, pemberian APD untuk
seluruh tenaga medis, pengadaan bantuan sosial bagi para warga yang terdampak,
hingga penyelenggaraan vaksinasi gratis di seluruh daerah. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya ketimpangan antara penerimaan dan pengeluaran keuangan
Negara. Penerimaan Negara menjadi berkurang seiring dengan pemberlakuan
pembatasan aktivitas masyarakat khususnya dalam bidang Ekonomi. Sedangkan
dilihat dari segi pengeluaran, terjadi pembengkakan sejalan dengan pembiayaan
pelaksanaan upaya pengendalian kasus yang terjadi.
Merespon
fenomena tersebut, pemerintah akhirnya menyusun kebijakan baru dalam peraturan
keuangan negara dalam UU Nomor 2 Tahun 2020. Melalui peraturan ini, pemerintah
memperbolehkan Kementerian Keuangan melakukan pelebaran defisit anggaran hingga
tahun 2023 mendatang. Defisit anggaran yang sebelumnya maksimal berada pada
angka 3%, pada tahun 2020 diperbolehkan meningkat drastis hingga angka 6,34%.
Perubahan ini dilakukan agar pemerintah memiliki keleluasaan dalam membiayai
segala hal yang dibutuhkan untuk memerangi pandemi yang belum kunjung usai,
serta menjaga keadaan negara agar tidak terjatuh ke dalam jurang resesi
ekonomi.
Kendati
demikian, angka defisit anggaran yang tinggi bukan lah suatu hal yang serta
merta dapat diwajarkan. Sebab defisit yang terjadi pada anggaran merupakan indikator
bahwa anggaran suatu Negara sedang sakit atau tidak baik-baik saja. Defisit
juga dianggap mampu mempengaruhi kenaikan tingkat inflasi, naiknya tingkat
pengangguran, dan dampak kurang baik lainnya. Oleh karena itu, apabila defisit
anggaran yang terjadi telah melebihi batas wajar persentase yang telah
ditetapkan, maka perlu dilakukan upaya pengobatan oleh Kementerian Keuangan
terhadap anggaran tersebut. Salah satu strategi yang dapat dilakukan ialah
dengan konsolidasi fiskal atau penguatan penerimaan negara melalui pendapatan
dari sektor pajak.
Pajak sendiri merupakan sebuah kontribusi wajib yang dibayarkan oleh rakyat untuk negara, dimana besaran serta ketentuannya telah diatur dalam undang-undang dan sebesar-besarnya dipergunakan untuk memperjuangkan kemakmuran rakyat. Secara lebih jelas, pengertian mengenai pajak ini telah diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pajak diketahui menjadi komponen yang sangat penting di dalam APBN, serta mendominasi jumlah penerimaan anggaran negara lebih dari separuh persentase keseluruhannya. Hal ini menunjukkan bahwa pajak adalah sumber penerimaan negara terbesar diantara sumber penerimaan lainnya sehingga menjadi tulang punggung nasional.
Kembali ke strategi penguatan konsolidasi fiskal, memasuki tahun 2021 pemerintah mulai gencar merealisasikan reformasi perpajakan negara. Reformasi ini dapat diartikan sebagai perubahan sistem pajak secara signifikan dan komprehensif yang meliputi pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi, dan peningkatan basis pajak. Di Indonesia sendiri, reformasi perpajakan telah diwujudkan pemerintah melalui pengesahan RUU HPP (Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) pada tanggal 7 Oktober 2021 oleh Presiden bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam sidang paripurna. Setelah melalui beberapa kali revisi hingga pengubahan nama, RUU ini pun akhirnya dapat diresmikan menjadi Undang-undang No 7 Tahun 2022 pada tanggal 29 Oktober 2021.
Source : Tempo.co
Gambar 1 Poin-Poin Penting yang mengalami
perubahan dalam RUU
Merujuk pada
artikel yang dikeluarkan oleh laman Kemenkeu tanggal 5 November 2021 silam,
timeline dimulainya masing-masing kelompok aturan yang dimuat dalam peraturan
perundang-undangan terbaru adalah sebagai berikut :
- Perubahan UU PPh berlaku mulai Tahun Pajak 2022
- Perubahan UU PPN berlaku mulai 1 April 2022
- Perubahan UU KUP berlaku mulai tanggal diundangkan
- Kebijakan PPS berlaku 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022
- Pajak karbon mulai berlaku 1 April 2022, dan
- Perubahan UU Cukai berlaku mulai tanggal diundangkan.
Pada awalnya,
pelaksanaan kebijakan ini berjalan dengan lancar. Penerimaan Negara dari sektor
pajak pun menunjukkan nilai yang positif. Angka realisasi defisit anggaran juga
sudah mulai mengalami penurunan yang bisa dibilang cukup memuaskan di tengah
kondisi saat ini. Yakni dari angka 6,14% menjadi 4,65%. Pencapaian ini
menunjukkan konsolidasi fiskal yang terjadi sudah cukup baik dan kita mampu
menjaga pertumbuhan ekonomi yang positif
Tak berselang
lama, tepat pada bulan Maret 2022, rakyat khususnya mereka yang termasuk
ke dalam kalangan pengusaha, mulai
mengkhawatirkan mengenai pemberlakuan kenaikan PPN yang sebelumnya telah
disepakati. Peristiwa tersebut membuat berita tuntutan dari para pengusaha
untuk penundaan pemberlakuan kebijakan kenaikan PPN mulai mencuat. Kekhawatiran
dari para pengusaha tersebut terjadi bukan tanpa alasan. Mereka beranggapan
bahwa kenaikan PPN di tengah ketidakpastian ekonomi tidaklah tepat. Terlebih
lagi kondisi ekonomi negara juga turut dipengaruhi adanya konflik invansi Rusia
terhadap Ukraina. Naiknya sejumlah bahan-bahan kebutuhan pokok dan gas dunia
juga menjadi salah satu alasan yang mendasari. Mereka takut apabila harus
menaikkan harga jual nantinya akan mempengaruhi daya dan minat beli dari
konsumen. Apalagi sebentar lagi memasuki bulan Ramadan, dimana kebutuhan akan
bahan pokok akan meningkat. Apabila hal ini terjadi, dikhawatirkan Indonesia
akan mengalami kenaikan inflasi.
Menanggapi hal
tersebut, Menteri Keuangan Indonesia yaitu Sri Mulyani pun angkat bicara.
Beliau menegaskan tidak akan ada penundaan terhadap kenaikan PPN. PPN akan
tetap dinaikkan mulai 1 April 2022 sesuai dengan ketentuan yang ada. Hal ini
dilakukan agar pajak tetap memiliki pondasi yang kuat di tengah masa pemulihan
ekonomi. Kenaikan tarif 1% ini juga cenderung lebih kecil dibandingkan dengan
kenaikan tarif yang terjadi di Negara anggota G20 dan OECD (Organisation for
Economic Co-operation and Development). Selain itu, Kemenkeu juga memberikan
klarifikasi kepada masyarakat, bahwa tidak semua barang dan jasa akan terdampak
oleh kenaikan ini. Bahkan Pada barang jasa tertentu seperti kebutuhan pokok
masyarakat, dapat dibebaskan dari pengenaan PPN ataupun mendapatkan keringanan
tarif menjadi 1 - 3%.
FAKTA
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/menkeu-pajak-merupakan-tulang-punggung-nasional/