DPR#4 (DIKSI PRESS RELEASE)


78 Tahun Berdiri Apa Penyebabnya Tupperware Berakhir Bangkrut?

 


Kebangkrutan Tupperware memberikan pelajaran berharga bagi dunia bisnis, terutama bagi perusahaan yang mengandalkan model bisnis tradisional. Penting bagi setiap perusahaan untuk terus berinovasi, memahami kebutuhan konsumen yang terus berubah, dan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan daya saing. Selain itu, ketahanan finansial yang kuat juga menjadi kunci keberlangsungan bisnis di era yang penuh ketidakpastianKebangkrutan Tupperware menjadi bukti nyata bahwa perusahaan besar sekalipun tidak kebal terhadap perubahan zaman. Pergeseran perilaku konsumen yang semakin praktis dan efisien, ditambah dengan kemunculan berbagai alternatif produk penyimpanan makanan yang lebih modern dan beragam, membuat Tupperware kehilangan daya tariknya. 

 

"Perusahaan-perusahaan besar yang cerdas tahu cara melindungi diri mereka sendiri," kata Charles R. Taylor, seorang profesor pemasaran dan hukum bisnis di Sekolah Bisnis Universitas Villanova, dikutip dari Wall Street Journal, Jumat (20/9/2024).

 

Era digital juga menghadirkan tantangan tersendiri, di mana model bisnis langsung ke konsumen (direct selling) yang selama ini menjadi andalan Tupperware semakin sulit bersaing dengan model bisnis berbasis online. Tupperware tampak kesulitan beradaptasi dengan tren pasar yang terus berubah. Desain produk yang cenderung monoton dan kurang inovatif, serta kurangnya upaya untuk menjangkau konsumen generasi muda melalui platform digital, menjadi faktor penghambat pertumbuhan perusahaan. Padahal, banyak pesaing yang berhasil meraih kesuksesan dengan menawarkan produk yang lebih estetik, fungsional, dan sesuai dengan kebutuhan konsumen modern

 

"Selama beberapa tahun terakhir, posisi keuangan perusahaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan makro ekonomi yang menantang," kata CEO Tupperware Laurie Goldman dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Reuters, Jumat (20/9).

 

Berdasarkan laporan Bloomberg pada Senin, 16 September 2024, Tupperware berencana mengajukan perlindungan pengadilan setelah melanggar ketentuan utangnya dan meminta bantuan penasihat hukum serta keuangan. Laporan tersebut mengatakan persiapan kebangkrutan dimulai setelah negosiasi berkepanjangan dengan para kreditur Tupperware atas utang lebih dari US$ 700 juta, atau setara Rp10,7 triliun dengan kurs saat ini.

 

Pada Agustus 2024, Tupperware mengatakan bahwa perusahaan tersebut menghadapi krisis likuiditas. Tupperware mengalami lonjakan penjualan singkat selama periode pandemi Covid-19, ketika orang-orang lebih banyak memasak di rumah dan banyak membeli wadah plastik kedap udara untuk menyimpan sisa makanan. Namun setelah itu, terjadi lonjakan pascapandemi terhadap biaya bahan baku penting seperti resin plastik, serta tenaga kerja dan pengiriman semakin menekan margin perusahaan.

 

Perusahaan tersebut mencatat aset senilai US$500 juta (Rp7,6 triliun) hingga US$1 miliar (Rp15,3 triliun) dan liabilitas senilai US$1 miliar - $10 miliar (Rp15,3 triliun - Rp153 triliun), menurut pengajuan kebangkrutan di Pengadilan Kepailitan AS untuk Distrik Delaware. 

 

Namun, apa pun yang terjadi dengan merek tersebut, nama Tupperware tidak akan pernah hilang. Itu karena banyak kosumen akan terus menyebut wadah makanan resealable sebagai Tupperware.

 

Kebangkrutan Tupperware juga berdampak pada ekonomi lokal, terutama bagi para penjual langsung yang selama ini mengandalkan produk Tupperware sebagai sumber penghasilan.

Kebangkrutan Tupperware juga memiliki dampak yang signifikan terhadap ekonomi lokal.

Pertama, salah satu dampak langsung adalah penurunan daya beli masyarakat. Penjual langsung Tupperware biasanya memiliki banyak pelanggan lokal. Daya beli masyarakat secara keseluruhan cenderung menurun ketika mereka kehilangan sumber pendapatan mereka. Ini dapat mempengaruhi bisnis kecil lainnya yang bergantung pada pelanggan lokal. Kedua, dari sudut pandang pemerintah daerah, kebangkrutan Tupperware dapat mengurangi pendapatan daerah. Karena penjualan produk Tupperware seringkali menghasilkan uang tunai, yang dapat meningkatkan pendapatan daerah melalui pajak untuk pembangunan daerah, sehingga penurunan penjualan dapat menghambat pembangunan.

 

Hilangnya peluang bisnis ini tentu akan memberikan dampak sosial yang cukup signifikan. Pemerintah dan pihak terkait perlu memberikan perhatian serius terhadap permasalahan ini dan mencari solusi untuk membantu para pelaku usaha kecil dan menengah yang terdampakKebangkrutan Tupperware telah memiliki efek sosial yang signifikan, terutama pada pelanggan langsung. Pertama, kehilangan sumber penghasilan utama secara mendadak dapat menyebabkan masalah keuangan yang signifikan. Banyak penjual langsung bergantung pada keuntungan dari Tupperware untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti

membayar tagihan, dan bahkan membiayai pendidikan anak. Kedua, kebangkrutan ini berdampak pada mental penjual juga. Mereka dapat mengalami stres, kecemasan, atau bahkan depresi jika mereka kehilangan sumber pendapatan dan status sosial yang mereka miliki sebelumnya. Ketiga, jaringan sosial yang telah terbentuk selama bertahun-tahun berkat penjualan Tupperware juga telah terputus. Kehidupan mereka melibatkan banyak interaksi sosial dengan sesama penjual dan konsumen. 

 

Kebangkrutan Tupperware juga memberikan dampak yang signifikan terhadap sektor UMKM secara umum. Banyak penjual langsung Tupperware yang sebenarnya merupakan bagian dari ekosistem UMKM. Mereka menjalankan bisnis kecil-menengah dengan mengandalkan produk Tupperware. Hilangnya produk ini dapat mendorong para penjual untuk mencari alternatif produk lain, namun tidak semua produk memiliki potensi pasar yang sama. Selain itu, banyak penjual langsung yang telah membangun merek pribadi melalui penjualan Tupperware. Hilangnya produk ini dapat menghambat pertumbuhan merek mereka dan memperlambat perkembangan UMKM secara keseluruhan.

 

Jadi dari masalah diatas kita dapat mengatasi dampak negatif dari kebangkrutan Tupperware, mulai dari pemerintah dan pihak terkait perlu mengambil langkah-langkah konkret. Beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan antara lain adalah memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para penjual langsung untuk mengembangkan keterampilan baru,memulai bisnis baru, memfasilitasi akses permodalan bagi UMKM, serta menciptakan ekosistem bisnis yang lebih kondusif bagi pertumbuhan UMKM. Selain itu, penting juga untuk memberikan dukungan psikologis bagi para penjual langsung yang mengalami kesulitan akibat kehilangan pekerjaan.



Referensi:

https://bisnis.tempo.co/read/1919578/fakta-fakta-tupperware-brands-yang-bakal-ajukan-pailit-hadapi-krisis-likuiditas?tracking_page_direct


https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7550715/ini-nih-biang-kerok-kebangkrutan-tupperware


https://www.cnbcindonesia.com/market/20240920091335-17-573233/tupperware-bangkrut-tapi-namanya-bakal-tetap-eksis


https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240920071708-92-1146278/penyebab-tupperware-bangkrut-usai-78-tahun-beroperasi


https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/09/19/tupperware-ajukan-kebangkrutan-bagaimana-dampaknya-ke-indonesia