Donald Trump Naikkan Tarif Impor, Apa Dampak Dari Kebijakan Tersebut?
Saat ini dunia perdagangan dihebohkan dengan isu kenaikan
tarif impor yang dikeluarkan oleh trump, tarif impor yang bersifat fluktuatif
ini masih bisa berubah seiring dengan berjalannya perang dagang yang terjadi
saat ini. Perang dagang melalui kenaikan tarif yang dilakukan Presiden Amerika
Serikat (AS) Donald Trump dengan china masih terus bergulir. Kemarin, Trump
mengumumkan akan menaikkan tarif 254% ke impor asal China, sementara di sisi
lain sejumlah utusan negara kini berkumpul di AS untuk melakukan negosiasi,
termasuk RI sendiri. Negara yang terancam menjadi korban tarif Trump juga
bertambah dengan Arab Saudi kini masuk di daftar.
WTO juga mulai bersuara atas tarif yang diberlakukan
Trump. Kepala Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Ngozi Okonjo-Iweala, akhirnya
memberi komentar tentang perang dagang melalui kenaikan tarif impor, yang
dilakukan pemerintah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Dalam
konferensi pers Rabu, ia berujar tarif timbal balik (resiprokal) Trump,
"sangat mengkhawatirkan" seraya memperkirakan bahwa perdagangan
global akan turun tahun ini karena tarif Trump.
Sebelumnya, tarif baru Trump untuk Cina masih berada
di angka 145%. Angka 245% yang mereka masukkan ke dalam dokumen tanggal 15
April yang menguraikan konteks perintah eksekutif baru dari Presiden Donald
Trump mewakili semua tarif sebelumnya dan tarif baru untuk beberapa produk Cina.
Pemberlakuan tarif setinggi 245% untuk impor Cina merupakan serangan ekonomi
paling dramatis yang pernah dilakukan oleh Presiden AS Donald Trump sebagai
akibat dari tindakan pembalasannya, atas pengetatan kontrol ekspor Beijing
terhadap elemen tanah jarang dan mineral penting yang digunakan untuk berbagai
kepentingan.
Pemerintah Indonesia memberi update negosiasi tarif
timbal balik Trump. Sebelumnya barang RI yang masuk AS dijatuhi tarif 32% pada
2 April lalu, namun kemudian ditunda 90 hari pada 9 April. Dalam pernyataan
resminya, Kementerian Luar Negeri (kemenlu) mengatakan kedua negara menegaskan
komitmen kuat untuk memperluas kemitraan strategis, mulai dari
politik-keamanan, perdagangan hingga investasi. Hal ini dinyatakan setelah
Menteri Luar Negeri RI, Sugiono bertemu dengan Menlu AS Marco Rubio.
Dilaporkan bagaimana Sugiono menyampaikan berbagai
prioritas dan program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, di antaranya
ketahanan pangan dan energi, hilirisasi, serta pembangunan sumber daya manusia.
Sejumlah prioritas tersebut, tegasnya, membuka peluang kerja sama konkret
dengan Pemerintah AS. Ia juga menyuarakan penguatan kerja sama ekonomi RI-AS,
termasuk dalam konteks rantai pasok. Investor AS diundang untuk berinvestasi di
sektor mineral kritis, seperti nikel, dan sektor-sektor penting lain. "Pemerintah
Indonesia telah banyak melakukan langkah-langkah deregulasi untuk mempermudah
dan menciptakan situasi kondusif bagi investor asing", ujar Sugiono,
dikutip Kamis (17/4/2025).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil
Lahadalia mengungkapkan Indonesia akan meningkatkan impor Liquified Petroleum
Gas (LPG) AS, hingga 85%. Hal ini menjadi bagian dari strategi Indonesia dalam negoisasi
tarif importasi AS yang baru. "Sekarang kan 54% impor LPG kita dari
Amerika dan itu akan kita naikkan sekitar 80-85%," kata Bahlil, usai Rapat
Terbatas (ratas) dengan Presiden Prabowo Subianto terkait rencana impor, di
Istana Negara, Kamis (17/4/2025). "Kemudian crude oil (minyak mentah) kita
di Amerika itu tidak lebih dari 4%, ini kita naikkan menjadi 40% lebih. Nanti
detilnya setelah saya akan melakukan pembahasan teknis dengan tim teknis dan
Pertamina," bebernya. "Nilainya untuk bisa memberikan keseimbangan
terhadap neraca perdagangan kita," jelas Bahlil.
- Alasan Kebijakan Penaikan Tarif Impor
Motivasi
utama Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam membuat kebijakan tarif
diketahui adalah untuk menciptakan trade balancing atau keseimbangan
perdagangan antara AS dengan mitra dagangnya.
Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan dari Lembaga
Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, menilai bahwa tujuan tersebut sangat
sulit dicapai secara realistis. Meski kebijakan ini belum diterapkan
sepenuhnya, Riefky menilai langkah tersebut bisa menjadi bentuk weaponization
of tarif. "Kita lihat memang masih sangat dinamis dan terus berkembang.
Saat ini implementasinya juga sedang diundur selama 90 hari dan masih dalam
tahap negosiasi," jelasnya dalam Ikatan Alumni Universitas Indonesia
(ILUNI UI) Selasa (15/4).
Menurutnya, AS adalah ekonomi terbesar di dunia.
Secara alami, AS menjadi vendor terbesar untuk berbagai produk global. Kalau
mereka memaksakan trade balance dengan semua negara, maka pilihannya hanya dua,
yakni mengurangi konsumsi atau mengenakan tarif tinggi. “Kalau dia kemudian mau
mendorong untuk trade balancing itu menjadi imbang dengan semua negara maka
yang terjadi akan beberapa hal. Satu, either mereka mengurangi
konsumsi-nya atau kedua, dia akan menerapkan tarif setinggi-tingginya ke negara
lain,” paparnya.
- Dampak dari Kenaikan Tarif Impor
- Turunnya Perdagangan
Barang Global
WTO sebelumnya memperkirakan perdagangan barang global akan meningkat sebesar 2,7% pada tahun 2025. Namun karena perang dagang, kini perdagangan diperkirakan akan turun sebesar 0,2%. Perdagangan antara AS dan China bisa anjlok sebesar 81-91% tanpa pengecualian, terutama untuk produk teknologi seperti telepon pintar. Selain itu naiknya tarif impor juga berdampak pada pertumbuhan PDB global. Sebelumnya, WTO memperkirakan pertumbuhan PDB global sebesar 2,8% untuk tahun 2025. Tetapi sekarang memperkirakan pertumbuhan yang lebih menjadi 2,2%.
2. Penurunan Ekspor Oleh Perusahaan AS
Banyak studi menunjukkan dampak negatif dari perang dagang terhadap perusahaan-perusahaan AS. Salah satunya adalah penelitian yang menunjukkan bahwa penerapan tarif menyebabkan penurunan ekspor oleh perusahaan-perusahaan AS. Hal ini terjadi karena sebagian besar perusahaan tersebut mengandalkan bahan baku impor yang menjadi lebih mahal akibat tarif, sehingga menurunkan daya saing produk ekspor.
3. Turunnya Harga Komoditas Indonesia Hingga Pemutusan Hubungan Kerja
Chairman CT Corp Chairul Tanjung memaparkan dampak perang tarif dari Presiden AS Donald Trump untuk ekonomi Indonesia. Menurut pria yang akrab disapa CT itu, kebijakan penetapan tarif yang memicu perang dagang bisa membuat sejumlah harga komoditas turun lantaran pertumbuhan ekonomi dunia yang melemah. "Kalau ekonomi tumbuhnya turun, demand-nya pasti turun, permintaannya pasti turun. Kalau permintaan turun, harga-harga komoditas kita, baik hard commodity maupun soft commodity, itu juga akan turun," kata CT, Minggu (13/4/2025). "Kita tahu ekonomi Indonesia itu sangat bergantung pada komoditas. Nah, kalau angka komoditas turun, itu pengaruhnya akan sangat signifikan kepada seluruh sektor, termasuk pendapatan fiskal kita. Yang kedua, tentu pertumbuhan ekonomi turut akan berlaku juga ke turunnya investasi," jelasnya menambahkan. CT juga mengingatkan, dengan kondisi Indonesia yang bergantung pada komoditas, maka perlu dilakukan langkah strategis agar ekonomi dalam negeri tidak terperosok.
4. Pemutusan Hubungan Kerja Hingga Anjloknya Daya Beli Masyarakat
Dalam salah satu wawancara oleh media CT juga
menyatakan akan ada imbas berupa daya beli masyarakat yang anjlok dan pemutusan
hubungan kerja. "Radikal efisiensi ini akan berpengaruh terhadap
penyerapan tenaga kerja, berpengaruh terhadap lay off atau pemutusan hubungan
kerja yang masif dan tentu berakibat dari turunnya daya beli," tuturnya. Kendati
demikian CT menyatakan tarif tinggi yang ditetapkan Amerika Serikat tidak
berdampak langsung ke Indonesia. Pasalnya ekspor Indonesia ke AS tidak sebesar
ke negara lain. Bahkan menurutnya, tanpa negosiasi pun Indonesia bisa
menghadapi tarif tinggi tersebut. Hanya saja CT menilai perdagangan yang diraih
Indonesia menjadi berkurang.
Referensi
https://www.cnbcindonesia.com/news/20250417105011-4-626713/wto-akhirnya-respons-perang-tarif-trump